“KOTAK KESELAMATAN” INOVASI INSAN VOKASI UNTUK PELAYARAN INDONESIA

posted in: artikel | 0

Surabaya, Ditjen Vokasi – Program Matching Fund vokasi dirancang untuk menjembatani kolaborasi riset antara pendidikan tinggi vokasi dengan industri. Melalui Matching Fund, produk-produk inovasi insan vokasi lahir untuk menjawab kebutuhan dunia industri dan masyarakat. Salah satunya adalah Automatic Identification System (AIS) yang dikembangkan oleh dosen dan mahasiswa Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya (PPNS).

Saat ini, perangkat AIS yang dikembangkan oleh PPNS ini sudah mendapatkan sertifikasi dari Balai Teknologi Keselamatan dan Pelayaran. Sebelumnya alat ini juga sudah dilakukan pengujian melalui perjalanan laut dari Surabaya ke Lombok. Alat ini juga sudah dipasang dan diuji coba di sejumlah kapal di Lamongan dan Sidoarjo. Alat ini juga sudah dipasang di Kapal Pencalang Putra Sunan Drajat, kapal kayu tradisional dengan teknologi modern karya PPNS juga.

“Artinya, secara ekosistem teknologinya kita sudah siap. Kita hanya tinggal menunggu regulasi pemerintah tentang aturan penggunaan AIS seperti halnya regulasi pemerintah tentang televisi digital. Jadi, kita saat ini sudah siapkan ekosistem untuk set top box-nya,” kata Afif Zuhri Arfianto mencoba memberikan gambaran kondisi terkini dan masa depan teknologi AIS di Indonesia.

Afif merupakan ketua tim pengembang AIS. Afif juga dosen pada Teknik Otomatisasi PPNS. Melalui program Matching Fund 2022, Afif dan sekitar 4 sampai 10 mahasiswanya mengembangkan AIS. Pengembangan AIS dilakukan dengan menggandeng PT Palka Sarana Utama sebagai mitra industri.

“Alat yang kami produksi memang masih terbatas karena memang baru untuk keperluan riset. Akan tetapi, alat ini siap untuk diproduksi massal bersama mitra kami,” kata Afif.

Kebutuhan Masyarakat

AIS merupakan pengembangan perangkat navigasi dalam keselamatan pelayaran setelah dikenalkannya sistem radar. AIS bekerja dengan pemancaran radio very high frequency (VHF) yang menyampaikan data-data melalui VHF Data Link (VDL) untuk mengirim dan menerima informasi secara otomatis ke kapal lain, stasiun VTS atau SROP. Pengiriman dan penerimaan informasi ini hanya akan terjadi pada kapal-kapal yang juga memasang AIS pada sistem navigasi mereka.

Penggunaan AIS juga akan membantu pengaturan lalu lintas kapal dan mengurangi bahaya dalam pelayaran. Kapal-kapal besar akan bisa mendeteksi keberadaan kapal-kapal kecil yang berada dalam jangkauan mereka sekitar 5 sampai 10 nautical mile. Jarak tersebut dinilai menjadi jarak aman bagi kapal-kapal besar untuk menghindar atau mengambil langkah antisipasi untuk mencegah terjadinya kecelakaan. Begitu juga dengan kapal kecil, dengan jarak tersebut mereka bisa bermanuver untuk menghindari kapal besar.

“Selama ini kalau kapal kecil bisa saja dia melihat kapal besar. Akan tetapi, seringnya kapal besar itu tidak menyadari keberadaan kapal kecil dan menjadi pemicu kecelakaan di laut,” kata Afif.

Menurut Afif, International Maritime Organization (IMO) atau organisasi maritim internasional sudah mewajibkan penggunaan AIS sejak lama. Di Indonesia, pemerintah juga sudah dua kali mengeluarkan aturan terkait penggunaan AIS.

“Pada 2010, pemerintah Indonesia sudah mewajibkan penggunaan AIS. Akan tetapi, saat itu aturannya hanya bagi kapal-kapal besar di atas 300 GT (gross tonnage),” kata Afif.

Seiring dengan cita-cita Indonesia menjadi poros maritim dunia, pemerintah kembali mengeluarkan peraturan baru terkait dengan penggunaan AIS. Melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan kembali memberlakukan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis (Automatic Identification System/AIS) atau navigasi bagi kapal yang berlayar di wilayah perairan Indonesia.

Peraturan pemerintah yang baru tidak lagi hanya menyasar kapal dengan bobot di atas 300 GT, tetapi mulai menyasar kapal-kapal yang lebih kecil, yakni 65 GT. Tidak hanya itu, bahkan kapal penumpang dengan bobot 30 GT juga sudah diwajibkan menggunakan AIS demi menunjang keselamatan pelayaran.

“Ke depannya bisa jadi sudah tidak ada lagi aturan GT kapal. Semua kapal harus memasang AIS demi keselamatan pelayaran dan semua kapal yang berlayar di perairan Indonesia bisa melakukan aktivitasnya secara aman dan nyaman,” kata Afif.

Merespons Industri

Riset tentang AIS sebenarnya sudah mulai dilakukan Afif sejak 2010 lalu. Saat itu Afif masih menjadi mahasiswa pascasarjana di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Melalui program Matching Fund 2022 yang ia ikuti, Afif kemudian mengembangkan kembali risetnya hingga hilirisasi produk bersama PT Palka Sarana Utama.

“Jadi, pengembangan AIS juga untuk menjawab kebutuhan industri yang memang membutuhkan adanya riset untuk mengembangkan AIS produk dalam negeri,” kata Afif.

PT Palka Sarana Utama merupakan mitra industri PPNS yang selama ini bergerak sebagai supplier untuk perangkat navigasi. PT Palka biasanya melayani klien mereka yang ingin memasang kelengkapan navigasi pada kapal, salah satunya AIS.

Akan tetapi, perangkat AIS yang dipasang selama ini merupakan produk impor dari Jepang dan Korea. Harganya relatif mahal, yakni sekitar Rp10 juta per unitnya. Tidak hanya soal harga yang mahal, jika terjadi kerusakan juga harus mendatangkan tenaga teknisi dari negara asalnya.

“Dari sinilah kemudian PT Palka berniat untuk membangun industri AIS dalam negeri dengan berkolaborasi bersama kami untuk pengembangan risetnya,” kata Afif.

Perangkat yang dikembangkan Afif ini berbentuk sebuah kotak yang compact yang dilengkapi dengan monitor layar sentuh dan beberapa port untuk kebutuhan integrasi dengan perangkat navigasi lain, perangkat ini dirancang dengan casing berbahan aluminium sehingga dapat bertahan terhadap berbagai macam cuaca di laut.

Masih menurut Afif, pengembangan teknologi AIS di dalam negeri bisa menekan biaya yang harus dikeluarkan nelayan. Pasalnya, harga produksi AIS karya PPNS ini hanya sekitar Rp8 juta. Dengan demikian akan lebih terjangkau oleh nelayan.

“Selain lebih terjangkau, pengembangan industri AIS dalam negeri juga tentu akan menyerap tenaga kerja sendiri, baik di produksinya, instalasinya, sampai perawatan alatnya,” kata Afif.

Senada dengan Afif, Direktur PT Palka Sarana Utama, Novirwan S. Said, mengatakan bahwa kebutuhan akan perangkat ini sangat tinggi. Oleh karena itu, kemandirian untuk mengembangkan sendiri produk AIS sangat diperlukan.

“Harus ada produk dalam negeri yang bisa dipakai di kapal-kapal lokal. Ini juga bisa menjadi kebanggaan dan kemandirian industri navigasi kapal kita,” kata Novirwan.

Sebagai negara dengan luas lautan yang lebih besar dari daratan, keamanan dan keselamatan pelayaran memang menjadi salah satu hal penting. Selain ini, jumlah nelayan dan potensi kapal penangkap ikan di Indonesia juga cukup besar dan potensial.

Berdasarkan data di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), setidaknya ada 1.004.060 kapal perikanan laut yang beraktivitas di perairan Indonesia di tahun 2021. Jumlah tersebut sebagian didominasi oleh kapal dengan bobot 5 GT ke atas.

Sementara itu, ketua kelompok nelayan dusun Candisari, Lamongan, Jawa Timur, Suparman, menyambut baik pengembangan AIS dalam negeri. Suparman yang pernah mengalami kecelakaan kapal di laut sangat merasakan pentingnya penggunaan AIS saat berlayar mencari ikan.

“Apalagi kami kapal kecil, kami mungkin bisa melihat kapal besar, tapi kapal besar seperti kapal Tanker belum tentu bisa melihat kapal kita. Itu yang pernah saya alami. Jadi memang harus pakai alat ini,” kata Suparman.

Dengan pengembangan AIS produk dalam negeri, menurut Suparman, harga sistem navigasi ini bisa lebih terjangkau oleh masyarakat. Selain itu, pengoperasian alat juga akan lebih mudah dipahami. (Nan/Cecep Somantri)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *